Darmi pun Berumah di Kandang Kambing (majalah tempo)

HUKUM di negeri ini mesti lebih keras kepada pe negak hukum yang memeras warga negara. Sudah begitu banyak kritik masyarakat, begitu gencar pemberitaan media, pemerasan oleh aparat yang semestinya berdiri paling depan mengawal hukum itu masih saja terjadi. Di tangan penjaga wet yang lancung, hukum bukan saja dibengkokkan melainkan juga diperjual-belikan.

Cerita terbaru penegak hukum tukang tilep itu kita dengar dari Indramayu, Jawa Barat. Akibat ulah mereka, Darmi, perempuan paruh baya dan enam anaknya, pernah tinggal di kandang kambing selama sepuluh bulan walaupun sekarang sudah pindah ke rumah kontrak atas bantuan para tetangga. Rumah, harta satu-satunya yang dimiliki keluarga dengan ekonomi kembang-kempis itu, terpaksa mereka jual untuk menebus Kadana, suami Darmi yang dituduh melakukan pembunuhan.

Menebus sesungguhnya istilah yang bermasalah. Seolah segepok uang bisa digunakan untuk membeli kebe basan orang yang ditahan karena melanggar hukum. Sis tem hukum kita tidak mengenal istilah tebusan. Penegak hukum yang bejat sengaja membuat rancu istilah itu untuk memeras anggota masyarakat yang sedang berurusan dengan hukum.

Modusnya bisa seribu satu macam. Dalam kasus di Indramayu ini, Darmi menjual rumah karena rayuan Ajun Inspektur Dua Polisi Nana Sudana, anggota Kepolisian Resor Indramayu. Nana menjanjikan dapat membebaskan Kadana dari tuduhan pembunuhan dengan imbalan Rp 23 juta.

Di samping bujuk rayu, kekerasan sering dipakai untuk menekan. Darmi, yang tak bisa berbahasa Indonesia ini, jelas tak tahan mendengar suaminya mengeluh tentang kekerasan yang dialami di tahanan. Kadana mende rita luka bakar di bagian kaki, diduga akibat disundut besi panas ketika diperiksa polisi. Untuk membebaskan sang suami dari derita, rumah petaknya pun dijual, uang "tebusan" Rp 15,3 juta diserahkan kepada Nana.

Di sinilah mafia bekerja. Seperti pengakuan Casnawi, kakak kandung Kadana, sejumlah uang disetorkan ketangan jaksa untuk meringankan tuntutan. Sebagian lagi merupakan jatah petugas rumah tahanan, untuk membeli sel layak huni, aman dari gangguan bromocorah.

Entah mengapa, jaksa tetap menuntut Kadana dengan hukuman 13 tahun penjara. Majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis 7 tahun penjara kepada petani miskin itu. Uang tebusan melayang, Kadana tetap harus mendekam dalam kurungan.

Kisah uang tebusan ini sama sekali tak terendus atasan hakim maupun jaksa, juga kepolisian. Seandainya Casna wi dan Darmi tidak mendatangi Satuan Tugas Pemberan tasan Mafia Hukum, pemerasan model begini akan tengge lam selamanya.

Tanpa keterlibatan Satuan Tugas, mungkin kasus Ka dana akan dipeti-eskan atau berakhir lewat jalan damai. Kira-kira solusinya begini: uang kembali, perkara dipro ses secara wajar, Nana boleh terus dalam dinas. Padahal kelakuan Nana dan penegak hukum lain yang terlibat sudah jauh di luar batas toleransi.

Sanksi administratif berupa pencopotan jabatan dan pe nurunan pangkat jelas tak cukup. Mereka harus segera di proses. Hukuman berat pantas diberikan untuk mereka yang sudah begitu tega memeras rakyat miskin ini.

Nana sudah diperiksa dan dijerat dengan pasal peni pu an. Dia dan aparat penegak hukum lain, termasuk atasan mereka, seharusnya pula dipecat dengan tidak hormat. Me reka yang tega menghisap rakyat kecil sudah sangat tak pantas dibiarkan bercokol dalam lembaga penegak hukum.

Hukuman keras memang belum tentu bisa memberantas praktek mafia hukum. Tapi bayangkan betapa runyam ne geri ini bila kawanan "pagar pemangsa tanaman" ternyata hanya dihukum ringan.

Tidak ada komentar: